Speaker 1st

Speaker First berawal dari sebuah idealisme grup musik yang mampu memberikan inspirasi baik untuk pribadi setiap personilnya maupun untuk setiap orang yang mendengarkan musiknya. Pada awal 2003, band ini dibentuk dengan formasi awal : Reda (vokal), Bony (guitar, vokal), Beny (guitar, vokal), Sandy (bass) dan Anton (drum). Semangat Rock n Roll mempertemukan dan mempersatukan mereka dalam membuat album perdana bertajuk ”Whatever You Say” dirilis pada tahun 2004 oleh Sony Music Indonesia, pada tahun 2006 film ‘Gie’ kami definisikan lewat dua buah lagu dalam kompilasi soundtrack film ini, ‘Mr Ego’ dan ‘Like A Rolling Stone’ (Bob Dylan recycle) terasa semakin memperkuat karakter ‘Gie’. Seiring perjalanan band ini, Speaker First mengalami pergantian formasi dengan mundurnya Reda sebagai vokalis. Hal ini membuat proses penyelesaian album kedua menjadi tertunda.

Semangat bermusik mempertemukan Speaker First dengan Attir yang datang dengan membawa “warna” baru terhadap musik Speaker First dengan karakter vokal yang khas, membawa sentuhan Southern music dan nuansa black music serta musik-musik blues era 50an. Warna musik ini terasa pada materi album ke-2 Speaker First menjadi lebih matang dalam bermusik dan dewasa dalam bersikap , November 2007 Attir resmi menjadi vokalis Speaker First.

Bagi Speaker First, rock n roll bukanlah hanya sebatas tampilan dan attitude yang dangkal , rock n roll adalah dari dalam jiwa ditunjang oleh kedalaman visi bermusik .

Di album kedua ini, yang dirilis oleh Duta Music Indonesia ( DMI ), Speaker First mengungkapkan rasa prihatinnya terhadap lingkungan sosial disekitarnya seperti tingginya tingkat kriminalitas di negeri ini lewat lagu ‘Patroli’ atau hubungan manusia dengan Tuhannya di lagu ‘Sendiri Lagi’ bahkan hingga rasa kerinduan akan perdamaian dunia dalam lagu ‘ Apakah Bisa’. Single pertama ‘Dunia Milik Kita’ lirik yang catchy music yang easy listening menceritakan kisah cinta 2 manusia yang sedang dimabuk asmara hingga merasa dunia ini hanya milik mereka berdua.

Bersama Speaker People, begitu biasa fans kami disebut, Speaker First mencoba untuk meramaikan pasar musik Indonesia dengan menawarkan alternatif lain dengan harapan tentunya dapat menginspirasi setiap orang yang mendengarkannya.

IT’S A LONG WAY TO THE TOP IF YOU WANNA ROCK N ROLL !

AC/DC



Kalian yang bukan penggemar Band Melayu Full Selingkuh, anda yang muak dengan maraknya jiplak-mejiplak di ranah Pop cengeng (I’m talkin’ to ya, d’Masiv), rekan yang mengaku penikmat berat musik cadas, pasti-oh-pasti familiar dengan AC/DC, kan? Paham bahwa grup legendaris dengan ikon pemain gitar berseragam anak sekolahan—namanya Angus Young, in case you don’t know—tersebut asalnya dari Australia. Melek bahwa kontingen asal Sydney yang di negaranya dikenal juga sebagai “Acca Dacca” itu lahir pada tahun 1973.
Sebagian barangkali mahfum pula bahwa asal muasal nama AC/DC bermula gara-gara Angus dan saudaranya, Malcolm Young, melihat inisial “ac/dc” di mesin jahit saudara perempuannya, Margaret Young. TAPI saya yakin hampir nihil yang tahu sejarah bagaimana logo klasik AC/DC bermula. Saya jamin cuma sedikit bisa bercerita tentang awal mula simbol “samber geledek” itu. Saya juga baru ngeh kok. Sejawat Musikatorian, begini kisahnya…

AC/DC classic logo
Lambang khas nan adiluhung itu diciptakan oleh desainer grafis/tipografer bernama Gerard Huerta. Muncul pertama kali pada 1977, tepatnya di album Let There Be Rock (versi internasional, yang notabene sampul albumnya berbeda dengan yang diedarkan di Australia).
Sejak babak inilah seolah secara informal disepakati bahwa tipografi “formasi petir” AC/DC di Let There Be Rock merupakan logo paling sah. Namun, sejatinya, Gerard telah muncul dengan ide yang mirip ketika dia menggarap album AC/DC setahun sebelumnya, High Voltage.
AC/DC High Voltage
Menurut dia, timbulnya inspirasi menonjolkan atribut geledek sebenarnya sederhana saja, semata merupakan interpretasinya dia terhadap tajuk album: High Voltage.

Sementara mengenai tipografi “formasi petir” di Let There Be Rock, pria Hispanik yang berbasis di Connecticut itu bertutur panjang lebar. Ia bilang semuanya tak bisa dipisahkan dengan tipografi kelompok Blue Oyster Cult karyanya di album On Your Feet On Your Knees.
BOC On Your Feet or On Your Knees
Dari situ kemudian Gerard melakukan riset tentang tipografi religius, khususnya Gutenberg’s bible type. Sampai akhirnya tulisan AC/DC dikreasikan bak plat nomor mobil dari logam dengan efek kerlap-kerlip. Dan, di pikiran Gerard, saat tulisan AC/DC ditempatkan di foto yang indah itu akan terbersit sedikit kesan seram.

Ladies and gentlemen, Let There Be Rock…
Let There Be Rock
Sementara gambar-gambar di bawah ini adalah kilas balik, antologi sebelum ditemukannya logo klasik AC/DC.
AC/DC High Voltage Australian version
High Voltage versi Australia (1975)
AC/DC TNT
T.N.T. (1975)
AC/DC Dirty Deeds Australia
Dirty Deeds Done Dirt Cheap versi Australia (1976)
AC/DC Dirty Deeds
Dirty Deeds Done Dirt Cheap versi internasional (1976)
AC/DC Let There Be Rock Australia
Let There Be Rock versi Australia (1977)
Hey, matter of fact, walau secara non resmi telah dideklarasikan logo sah AC/DC saat Let There Be Rock (versi internasional) dirilis, pada kenyataannya kesepakatan itu tidak langsung diaplikasikan di album tahun berikutnya, Powerage.
AC/DC Powerage
For those about to Rock, we salute you!

The S.I.G.I.T




  • ➢ The S.I.G.I.T
Jika kamu mencari representasi rock n’ roll di masa sekarang yang bisa membawa nafas-nafas dari Deep Purple, Led Zeppelin, Ac/Dc, Black Sabbath dan para heavy metaller gondrong berkumis dari 3-4 dekade lalu.maka saya mungkin akan mengajukan Wolfmother…
Hmm, maaf-maaf… kita lagi bicara soal motherfucker from hell named Indonesia. The Super Insurgent Group Of Intemperance Talent (the SIGIT). Pada masa awalnya mereka selalu diasosiasikan dengan The Datsuns yang emang lagi ngetop pada masa itu (sekitar 2000-an awal). Hanya saja karena pada kenyataannya mereka memiliki groove yang menurut banyak orang lebih baik daripada si anak muda The Datsuns, maka mereka memperoleh banyak pujian bagi penampilan live mereka yang atraktif dan juga demo kasar yang sempat tersebar dimana-mana.
Membalas dendam EP mereka yang mendem dan cuma berbentuk kaset dimasukin karton beberapa tahun yang lalu, sebuah CD berpackaging mewah hadir dihadapan kita dan berpeluang menjadi klasik. Ya benar, menjadi klasik. Sebuah CD yang bisa diwariskan ke anak/cucu kalian (jika mereka juga rock n roll seperti bapak/ibunya).
Berisikan “Nowhere End” backing vocalnya Jamie Aditya, bluesy funk yang menarik dan cukup nyaman didengarkan, sampai kegaresifan dari “Clove Doper”
Album ini memiliki sound yang berkarakter, dengan referensi distorsi heavy metal klasik, dan ambience mastering hampir semodel dengan Wolfmother. Sebenarnya hampir sempurna, dengan sedikit memainkan equalizer dikit, mungkin kalian bisa membayangkan bagaimana kira-kira orang tua kalian pada masa mudanya mendengarkan musik rock semacam Deep Purple atau AKA.
Dan saya rasa sebagian besar dari kamu akan sependapat menjadikan album ini menjadi rilisan terbaik tahun ini. Sayapun tidak akan memberi pendapat berbeda, karena terus terang sayapun berpendapat album ini adalah salah satu rilisan rock terbaik tahun 2007. Dengan olahan sound engineering yang sangat baik, musik rock n roll yang memang oke, dan attitude yang cocok mereka dapat juga menembus pasar benua lain.
Maka itu untuk kamu yang memiliki pendapat berbeda silahkan kembali mendengarkan album Jet sambil tepuk tangan. Atau buat kamu yang gondrong boleh tapping bersama Rici Sambora bori.
Dan untuk kamu yang keren dan trendy rock n roll ayo kita bareng bareng mendengarkan Wolfmother. uups salah maksud saya the Datsuns… maap…maap salah lagi the Sigit maksudnya.